Jumat, 10 Mei 2013

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL


Hak Kekayaan Intelektual

Hak Kekayaan Intelektual merupakan padanan kata dari “Intellectual Property Rights”. Istilah Hak Kekayaan Intelektual ini pertama kali diperkenalkan oleh Fichte pada sekitar tahun 1790 yang mengatakan hak milik pencipta ada pada bukunya. Secara umum Hak Kekayaan Intelektual merupakan hasil karya manusia yang berasal dari pemikiran intelektualnya di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra, teknologi, desain maupun bentuk-bentuk karya lainnya yang dapat dimanfaatkannya secara ekonomis.
HKI merupakan hak yang berasal dari karya, karsa, dan daya cipta kemampuan intelektualitas manusia yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia dan mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari hasil karya, karsa, dan daya cipta intelektualitas manusia tersebut dapat berupa ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan sastra. 

Sejarah HKI di Indonesia

Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia sudah dikenal sejak tahun 1844. Ketika itu Indonesia masih di bawah penguasaan Pemerintah Kolonial Belanda, yang artinya hukum yang mengaturnya pun berasal dari hukum yang berlaku di Belanda. Pada tahun 1910 mulai berlaku UU Paten (Octrooiwet) di Indonesia (Hindia Belanda) yang kemudian diikuti UU Merek (Industriele Eigendom) dan UU Hak Cipta (Auteurswet) tahun 1912. Pada tahun 1888 Indonesia resmi pertama kali menjadi anggota Paris Convention (for the Protection of Industrial Property Rights), Madrid Convention pada tahun 1983 hingga 1936 dan Berne Convention (for the Protection of Literary and Artistic Works) pada tahun 1914. Kemudian pada masa kemerdekaan sebagaimana ditetapkan dalam Ketentuan Peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa pendudukan Belanda tetap berlaku. Khusus untuk UU Paten, walau permohonannya sudah dapat dilakukan sendiri di Indonesia (Jakarta), namun pemeriksaan harus tetap dilakukan di Belanda.
Setelah kemerdekaan barulah pada tahun 1961 Indonesia memiliki UU Merek sendiri menggantikan UU produk Belanda, diikuti UU Hak Cipta pada tahun 1982, UU Paten tahun 1989 yang masing-masing sudah diperbaharui untuk menyelaraskan dengan pemberlakuan Perjanjian TRIPs. Kemudian pada akhir 2000 berlaku pula UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri, UU Desain Tataletak Sirkuit Terpadu dan UU Perlindungan Varietas Tanaman yang baru efektif tahun 2004.
Secara umum dikenal 2 jenis HKI:
  1. HKI bersifat Komunal (Non-Personal)

Hak Kekayaan Intelektual yang bersifat komunal merupakan HKI yang dimiliki sepenuhnya oleh suatu kelompok masyarakat yang hidup di suatu tempat secara tetap. Termasuk HKI yang bersifat komunal antara lain:
  • Traditional Knowledge (pengetahuan tradional)
  • Folklore (ekspresi budaya tradisional)
  • Geographical Indication (Indikasi Geografis) dan
  • Biodiversity (Keanekaragaman Hayati)
  1. HKI bersifat Personal

Hak Kekayaan Intelektual yang bersifat personal adalah HKI yang dimiliki sepenuhnya oleh individu atau kelompok individu dengan atau tanpa mengajukan permohonan kepada Negara untuk mendapatkan hak monopoli atas eksploitasi secara ekonomi.
Termasuk HKI yang bersifat Personal antara lain:
  • 1. Hak Cipta (Copyrights) dan Hak Terkait (Related Rights) lainnya di bidang Seni (Artworks), Sastra (Literature), Ilmu Pengetahuan (Science) dan Hak-hak Terkait yang berhubungan dengan Pelaku (artis, penyanyi, musisi, penari dan pelaku pertunjukkan), Produser Rekaman dan Lembaga Penyiaran.

  • 2. Paten (Patent), yakni invensi di bidang teknologi baik produk maupun proses atau pengembangan/penyempurnaan produk atau proses tersebut.

  • 3. Merek (Trademark, Service Mark), yakni tanda pembeda antara satu produk atau jasa dengan produk atau jasa lainnya yang terbagi dalam 45 kelas barang/jasa.

  • 4. Desain Industri (Industrial Design), yakni kreasi bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, dalam bentuk dua atau tiga dimensi yang memiliki kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam bentuk pola dua atau tiga dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan.

  • 5. Desain Tataletak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit), yakni kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.

  • 6. Rahasia Dagang (Trade Secret), yakni informasi yang bersifat rahasia dan memiliki nilai komersial dan telah ada upaya khusus untuk menjaga kerahasiaannya.

  • 7. Perlindungan Varietas Tanaman Baru (New Variety of Plant), yakni perlindungan terhadap bahan perbanyakan dari varietas tanaman yang memiliki karakter baru, unik, seragam, stabil dan telah diberi nama.

Tujuan Perlindungan HKI

  • Menghindarkan dari Pemalsuan atau Pemakaian Tanpa Izin
  • Meningkatkan Nilai Ekonomi Usaha
  • Mendahului Kompetitor
  • Meningkatkan Gairah Pencipta, Kreator dan Dunia Usaha
  • Memberi kejelasan hukum mengenai hubungan antara kekayaann dengan inventor, pencipta, pemilik
  • Memberikan penghargaan atas suatu keberhasilan dari usaha menciptakan suatu karya intelektual 
selain itu, sistem HKI juga telah menimbulkan suatu perubahan budaya dan cara pandang suatu bangsa dengan:
- Mendorong dokumentasi yang baik pada kegiatan riset
- Mendorong semangat kompetisi
- Mendorong kreativitas ilmuwan melalui insentif yang membuat mereka berkonsentrasi dan menjadi         sejahtera sebagai peneliti tanpa harus menjadi usahawan
- Menciptakan kepedulian dan perhatian pada sistem ekonomi global

Contoh Kasus Pelanggaran HKI

Software Menduduki Nomor 2 Pembajakan di Indonesia

Pembajakan Hak Cipta masih menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam penegakan hukum di Indonesia. Meski ketentuan di dalam undang-undang dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelakunya, namun faktanya pembajakan piranti lunak di Indonesia menduduki nomor 2 (dua).
Berdasarkan survei yang dilakukan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAPI) barang palsu yang paling banyak dikonsumsi masyarakat adalah pakaian, software dan barang dari kulit. Persentasenya adalah untuk jenis barang pakaian sebesar 30,2%, software 34,1%, barang dari kulit 35%,7%, spare parts 16,8%, lampu 16,4%, elektronik 13,7%,rokok 11,5%, minuman 8,9%, pestisida 7,7%, oli 7%, kosmetika 7% dan farmasi 3,5%.
Ketua Asosiasi Konsultan HaKI, Justisiari Perdana Kusumah menambahkan pihaknya akan terus mendukung upaya Ditjen Penyidikan HaKI dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terkait maraknya peredaran produk palsu di pasaran. Soalnya hal itu akan sangat merugikan konsumen. “Kami sangat men-support pelaku bisnis yang menghargai HaKI,” jelasnya
.

Analisa Kasus:
kasus diatas menunjukan bahwa masih kurangnya kesadaran dari masyarakat akan penghargaan Hak Kekayaan Intelektual atau yang biasa disebut dengan HKI. Akan tetapi, kemungkinan masyarakat sebagai konsumen juga merasa dirugikan karena barang yang mengalami pembajakan bisa saja membawa kerugian bagi konsumen.
Refrensi: 

Sabtu, 19 Januari 2013

Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Aspek Positif dan Negatif

Masyarakat secara garis besar dapat dibedakan menjadi masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Masyarakat perkotaan adalah sekumpulan orang yang tinggal di suatu tempat yang kehidupannya sudah serba modern. Sedangkan jelas kalau masyarakat pedesaan itu kehidupannya serba sederhana dan jauh dari serba modern.

Contoh Studi Kasus Antara Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan
contohnya dalam pola kehidupannya, sebagian besar masyarakat desa bermata pencaharian di bidang agraris, baik pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. Pada umumnya setiap anggota hanya mampu melaksanakan salah satu bidang kehidupan saja lain halnya masyarakat kota yang bekerja diperkotaan cenderung bekerja diperkantoran dengan bidang yang bermacam-macam. Tetapi, masyarakat perkotaan juga tidak lepas dari masyarakat pedesaan misalnya untuk bahan pangan seperti beras berasal dari hasil pertanian.
Bertahan di Tengah Pertanian Modern
Tradisi Bondang mengajarkan bercocok tan am tanpa memakai bahan kimia. Hasil padi lebih berkualitas dan melimpah.
Petani sedang memanen padi, di Desa Silo Lama, Asahan, Sumatera Utara.

Keyakinan itu tertanam kuat dalam benak Amron Lubis. Dia berpegang teguh bahwa bercocok tanam adalah sebuah ibadah yang wajib dilakukan manusia. Hingga kini, warga Dusun Silo Lama, Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara tersebut, masih aktif bertani. “Dengan bercocok tanam, kita tak hanya melestarikan tradisi luhur warisan nenek moyang, tapi juga menjalankan perintah agama,” ujar bapak tiga anak ini kepada Prioritas, Selasa pekan lalu.
Amron dan masyarakat Dusun Silo Lama, masih memegang teguh warisan leluhurnya, Silo Bondang. Bondang merupakan tradisi khas bertani padi masyarakat Asahan. Tradisi ini mengajarkan cara bertani yang tak menggunakan bahan-bahan kimia modern, seperti pupuk dan pestisida.
Dusun Silo, menurut Amron, menjadi satu dari sedikit dusun yang hingga kini masih melestarikan tradisi Bondang. Dengan menjalankan tradisi itu, padi yang dihasilkan tak hanya berkualitas, tapi juga melimpah. Ini membuat Silo menjadi salah satu lumbung beras penting di Sumatera Utara. “Beras yang dihasilkan juga berkah,” ujar Amron.
Penelitian yang dilakukan Edy Suhartono, antropolog Universitas Sumatera Utara, mencatat sejumlah ritual yang dilakukan saat musim tanam (buka Bondang) dan panen (tutup Bondang). Upacara dimulai dengan menyembelih ayam atau kambing di tempat tertentu. Berikutnya, ditempat tersebut, warga berkumpul dengan membaca tahtim (khataman Qur’an), tahlil, dan doa serta menaburi benih padi dengan tepung tawar. “Bondang merupakan perpaduan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dan kepercayaan tradisional masyarakat terhadap adanya kekuatan gaib dalam aktivitas pertanian,” katanya.
Dalam masyarakat Asahan, ajaran luhur tersebut mengatur hubungan baik antara sesama petani (hablun min annas), petani dengan lingkungan alam tempat mereka bercocok tanam(hablun min al-alam) dan hubungan antara petani dengan Sang Pencipta, Allah SWT (hablun minallah).
Berdasarkan catatan kalangan antropolog, kata Edy, tradisi tersebut sudah menjadi bagian dari adat bercocok tanam masyarakat Asahan sejak 1925 silam. Adalah Syekh Silo atau Haji Abdurrahman Urrahim Bin Nakhoda Alang Batubara, tokoh masyarakat setempat, yang pertama kali memperkenalkan pola bercocok tanam tersebut. Ia tak hanya dikenal sebagai tokoh budaya, tapi juga seorang pemimpin Tarekat Satariyah. Pelaksanaan dan pelestarian tradisi tersebut, Edy mengakui, tak bisa dilepaskan dari sosoknya. “Dialah yang meletakkan dasar sekaligus menganjurkan agar Bondang dilakukan oleh para petani,” kata Edy.
Petani sedang menggiling gabah di Sumatera.
Selain mengatur hal-ihwal pertanian, tradisi yang diajarkan Syekh Silo juga mengatur masalah keamanan dan ketertiban; kegiatan gotong royong; mewariskan tradisi olahraga pencak silat; pelestarian alam dan lingkungan (hutan); masalah pengobatan; dan masalah nelayan. Tradisi yang awalnya hanya diberlakukan bagi jamaah Tarekat Satariyah itu, kemudian menjadi tradisi Silo Lama. Selanjutnya, berkembang menjadi tradisi di masyarakat Asahan dan sekitarnya.
Tradisi Bondang diakui sebagai salah satu solusi dalam mengatasi ketergantungan petani terhadap bahan-bahan kimia pertanian. Penggunaan pupuk, pestisida dan racun serangga lainnya tak hanya berbahaya. Tapi juga potensial merusak ekosistem sawah. Sebab, dapat memutus mata rantai dan daur hidup yang ada di dalam tanah. Bahkan, Edy menyebutkan, “Tradisi Bondang dapat dijadikan simbol perlawanan terhadap globalisasi dunia pertanian, yang sangat mendewakan teknologi dan kapital dalam mengatur sektor pertanian.”
Pemerintah, kata Edy, kini juga mulai gencar melakukan kampanye pertanian organik (go organic). Dengan kenyataan tersebut, dia berharap, keberadaan bertani secara Bondang seharusnya menjadi sumber inspirasi dan referensi bagi pemerintah.
Tradisi bertani dengan mengindahkan keselarasan dengan alam, tak hanya berlaku di Asahan. Hal itu juga terdapat di kawasan lainnya, seperti Batak Toba dengan tradisi Marsiadapari; Karo dengan tradisi Aron. Terdapat kesamaan dari beberapa tradisi tersebut, yaitu melakukan aktivitas pertanian sesuai dengan tradisi yang berkembang di tempat masing-masing. Perbedaannya, tradisi Bondang dilakukan dengan ritual yang memasukkan ajaran Islam.
Kendati Bondang masih bertahan, kini tradisi itu dihadapkan pada sejumlah ancaman. Edy menyebutkan, serbuan pembukaan lahan untuk kelapa sawit mengancam tradisi Bondang. Hal tersebut dirasakan makin krusial saat banyak generasi muda tak berminat menerapkan pertanian model Bondang. “Kini pendukungnya kian mengecil, hanya generasi tua yang masih konsisten menjalankannya.”
Pendapat senada disampaikan Amron. Menurut dia, petani generasi masa kini lebih banyak memilih menggunakan cara bertani modern. Model bertani modern itu menggunakan pupuk, pestisida, dan bahan kimia lainnya. Dukungan pemerintah daerah setempat terhadap bercocok tanam ala Bondang ini pun dirasakan minim. “Sejauh ini belum kelihatan dukungan nyata dari pemerintah terkait dengan aktifitas tradisi Bondang di Silo Lama,” kata Edy.
Berkurangnya praktik bertani dengan tradisi ini, menurut Edy, tak hanya mengancam kerusakan lingkungan dan ekosistem sawah. Juga akan berdampak pada keselarasan sosial masyarakat petani di kawasan tersebut. Sebab, tradisi Bondang merupakan kegiatan menyelaraskan hubungan dengan manusia, alam, dan Tuhan, sebagai pencipta bumi dan segala isinya.
Agar tradisi bercocok tanam ala Bondang tetap lestari, Amron dan Edy memandang perlu adanya pewarisan tradisi kepada warga masyarakat. Pewarisan dilakukan sejak dini kepada generasi yang lebih muda, serta dilakukan dengan dukungan politik. Misalnya, dengan menjadikan tradisi itu sebagai bagian dari kebijakan desa yang diatur di dalam Perdes (Peraturan desa).
Sumber: http://www.prioritasnews.com/2012/12/17/bertahan-di-tengah-pertanian-modern/
Kesimpulannya, masyarakat perkotaan secara tidak langsung membutuhkan adanya masyarakat pedesaan, begitu pula dengan sebaliknya, masyarakat pedesaan juga membutuhkan keberadaan masyarakat perkotaan, meskipun keduanya memiliki perbedaan ciri-ciri dan aspek-aspek yang terdapat di dalam diri mereka. Keduanya memiliki aspek positif dan aspek negatif yang saling mempengaruhi keduanya dan saling berkesinambungan




Kamis, 28 Juni 2012

Pengertian politik negara,kekuasaan,pengambil keputusan, kebijakan umum, dan distribusi kekuasaan

Pengertian politik negara,kekuasaan,pengambil keputusan, kebijakan umum, dan distribusi kekuasaan
A.    Pengertian Politik Negara

     Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikatpolitik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupunnonkonstitusional.Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

·         politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
·         politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
·         politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
·         politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaankebijakan publik.

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

 
Tokoh-tokoh politik
Mancanegara : Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels, Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber,Nicolo Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci, Harold Crouch, Douglas E Ramage.
Indonesia: Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.

a.       Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.

Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.

Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.

 
B.     Pengertian Kekuasaan

Dahl (1957) menyatakan bahwa ”A memiliki kekuasaan atas B sehingga A dapat meminta B melakukan sesuatu yang tanpa kekuasaan A tersebut tidak akan dilakukan B”. Definisi ini menyempitkan konsep kekuasaan, juga menuntut seseorang untuk mengenali jenis-jenis perilaku khusus. Riker (1964) berpendapat bahwa perbedaan dalam kekuasaan benar-benar didasarkan pada perbedaan kausalitas (sebab-akibat). Kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh, sedangkan alasan adalah penggunaan pengaruh yang sebenarnya. Sedangkan Russel (1983) menyatakan bahwa power (kekuasaan) adalah konsep dasar dalam ilmu sosial. Kekuasaan penting dalam kehidupan organisasi, dan bahwa kekuasaan dalam organisasi terikat dengan status seseorang. Boulding (1989) mengemukakan gagasan kekuasaan dalam arti luas, sampai tingkat mana dan bagaimana kita memperoleh yang kita inginkan. Bila hal ini diterapkan pada lingkungan organisasi, ini adalah masalah penentuan di seputar bagaimana organisasi memperoleh apa yang dinginkan dan bagaimana para pemberi andil dalam organisasi itu memperoleh apa yang mereka inginkan. Kita memandang kekuasaan sebagai kemampuan perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi, memberi perintah dan mengendalikan hasil-hasil organisasi.

 
Berikut ini adalah pengertian dan definisi politik menurut beberapa ahli:
a.       ROD HAGUE
Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya
b.      ANDREW HEYWOOD
Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala komflik dan kerjasama
c.       CARL SCHMIDT
Politik adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang lebih membuat keputusan – keputusan daripada lembaga-lembaga abstrak.
d.      LITRE
Politik didefinisikan sebagai ilmu memerintah dan mengatur negara
e.       ROBERT
Definisi politik adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia
f.        IBNU AQIL
Politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rosulullah S.A.W

 
C.    Pengertian Pengambil Keputusan

Dee Ann Gullies (1996) menjelaskan definisi Pengambilan keputusan sebagai suatu proses kognitif yang tidak tergesa-gesa terdiri dari rangkaian tahapan yang dapat dianalisa, diperhalus, dan dipadukan untuk menghasilkan ketepatan serta ketelitian yang lebih besar dalam menyelesaikan masalah dan memulai tindakan. Definisi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Hani Handoko (1997), pembuatan keputusan adalah kegiatan yang menggambarkan proses melalui mana serangkaian kegiatan dipilih sebagai penyelesaian suatu masalah tertentu. Pengambilan keputusan sangat penting dalam manajemen dan merupakan tugas utama dari seorang pemimpin (manajer). Pengambilan keputusan (decision making) diproses oleh pengambilan keputusan (decision maker) yang hasilnya keputusan (decision).Defnisi-defenisi Pengambilan Keputusan Menurut Beberapa Ahli :

 · G. R. TerryPengambilan keputusan dapat didefenisikan sebagai ³pemilihan alternatif kelakuan tertentu daridua atau lebih alternatif yang ada´.

 · Harold Koontz dan Cyril O¶DonnelPengambilan keputusan adalah pemilihan diantara alternatif-alternatif mengenai sesuatu cara bertindak²adalah inti dari perencanaan. Suatu rencana dapat dikatakan tidak ada, jika tidak adakeputusan suatu sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibuat.

 ·   Theo HaimanInti dari semua perencanaan adalah pengambilan keputusan, suatu pemilihan cara bertindak.Dalam hubungan ini kita melihat keputusan sebagai suatu cara bertindak yang dipilih olehmanajer sebagai suatu yang paling efektif, berarti penempatan untuk mencapai sasaran dan pemecahan masalah.

 · Drs. H. Malayu S.P HasibuanPengambilan keputusan adalah suatu proses penentuan keputusan yang terbaik dari sejumlahalternative untuk melakukan aktifitas-aktifitas pada masa yang akan datang.

 ·   Chester I. Barnard Keputusan adalah perilaku organisasi, berintisari perilaku perorangan dan dalam gambaran proses keputusan ini secara relative dan dapat dikatakan bahwa pengertian tingkah lakuorganisasi lebih penting dari pada kepentingan perorangan.

 
D.    Pengertian Kebijakan Umum

Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.

TAHAP-TAHAP PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK MENURUT WILLIAM DUNN

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.

Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:
1. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
4. menjangkau dampak yang amat luas ;
5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)

OTONOMI DAERAH


Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal.Dimana untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan,merumuskan,dan memecahkannya,kecuali untuk persoalan-persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara-bangsa.

PRINSIP-PRINSIP YANG HARUS DIPEGANG DALAM PEMBERIAN OTONOMI DAERAH :

  1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah
  2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
  3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas
  4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
  5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih mengikatkan kemandirian daerah otonomi
  6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah
  7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai daerah administrasi
  8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dari pemerintah dan daerah ke desa disertai pembiayaan sarana dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan dan bertanggung jawab kepada yang menugaskan
KENDALA/KETIMPANGAN-KETIMPANGAN YANG SERING TERJADI DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH :
  1. High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi daerah dapat berubah sifat menjadi “Anarkisme Financial”
  2. High Cost Economic dalam bentuk KKN
  3. Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan
  4. Pemda bisa menjadi “drakula” bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD yang berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset, melainkan melalui kebijakan penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan BUMD
  5. Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian berkelanjutan
  6. Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya
  7. Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan
  8. Bangkitnya egosentrisme
  9. Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya.
  10. Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.
UPAYA PEJABAT DAERAH UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN YANG TERJADI
  1. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat terdistribusi ke daerah
  2. Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.
  3. Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur
  4. Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat
  5. Dan yang menjadi prioritas adalah pejabat daerah harus bisa memahami prinsip-prinsip otonomi daerah.
ANALISIS LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DIAMBIL PEMERINTAH DALAM MENGONTROL OTONOMI DAERAH :
  • Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di tingkat propinsi dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.Untuk itu perlu dipersiapkan revisi UU No.22 dan No.25 ,termasuk usaha sosialisasi besar-besaran pada masyarakat dan parlemen di tingkat pusat maupun daerah.
  • Menyusun sebuah rencana implementasi desentralisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut penjaminan kesinambungan pelayanan pada masyarakat,perlakuan perimbangan antara daerah-daerah,dan menjamin kebijakan fiskal yang berkelanjutan.
  • Untuk mempertahankan momentum desentralisasi,pemerintah pusat perlu menjalankan segera langkah desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-sektor yang jelas merupakan kewenangan Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.
  • Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari menteri negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan kerjasama dari seluruh bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).
 

Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang tidak sama sekali penting dalam rangka memperbaiki kesejahteraan para artis. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan hukum yaitu ya perundang undangaan.

Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
  1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara (“Eenheidstaat”), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
  2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan
  1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
  2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
  3. Dati II adalah daerah “ujung tombak” pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
  1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
  2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
  3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
  2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
  3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah