Sabtu, 19 Januari 2013

Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Aspek Positif dan Negatif

Masyarakat secara garis besar dapat dibedakan menjadi masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Masyarakat perkotaan adalah sekumpulan orang yang tinggal di suatu tempat yang kehidupannya sudah serba modern. Sedangkan jelas kalau masyarakat pedesaan itu kehidupannya serba sederhana dan jauh dari serba modern.

Contoh Studi Kasus Antara Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan
contohnya dalam pola kehidupannya, sebagian besar masyarakat desa bermata pencaharian di bidang agraris, baik pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. Pada umumnya setiap anggota hanya mampu melaksanakan salah satu bidang kehidupan saja lain halnya masyarakat kota yang bekerja diperkotaan cenderung bekerja diperkantoran dengan bidang yang bermacam-macam. Tetapi, masyarakat perkotaan juga tidak lepas dari masyarakat pedesaan misalnya untuk bahan pangan seperti beras berasal dari hasil pertanian.
Bertahan di Tengah Pertanian Modern
Tradisi Bondang mengajarkan bercocok tan am tanpa memakai bahan kimia. Hasil padi lebih berkualitas dan melimpah.
Petani sedang memanen padi, di Desa Silo Lama, Asahan, Sumatera Utara.

Keyakinan itu tertanam kuat dalam benak Amron Lubis. Dia berpegang teguh bahwa bercocok tanam adalah sebuah ibadah yang wajib dilakukan manusia. Hingga kini, warga Dusun Silo Lama, Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara tersebut, masih aktif bertani. “Dengan bercocok tanam, kita tak hanya melestarikan tradisi luhur warisan nenek moyang, tapi juga menjalankan perintah agama,” ujar bapak tiga anak ini kepada Prioritas, Selasa pekan lalu.
Amron dan masyarakat Dusun Silo Lama, masih memegang teguh warisan leluhurnya, Silo Bondang. Bondang merupakan tradisi khas bertani padi masyarakat Asahan. Tradisi ini mengajarkan cara bertani yang tak menggunakan bahan-bahan kimia modern, seperti pupuk dan pestisida.
Dusun Silo, menurut Amron, menjadi satu dari sedikit dusun yang hingga kini masih melestarikan tradisi Bondang. Dengan menjalankan tradisi itu, padi yang dihasilkan tak hanya berkualitas, tapi juga melimpah. Ini membuat Silo menjadi salah satu lumbung beras penting di Sumatera Utara. “Beras yang dihasilkan juga berkah,” ujar Amron.
Penelitian yang dilakukan Edy Suhartono, antropolog Universitas Sumatera Utara, mencatat sejumlah ritual yang dilakukan saat musim tanam (buka Bondang) dan panen (tutup Bondang). Upacara dimulai dengan menyembelih ayam atau kambing di tempat tertentu. Berikutnya, ditempat tersebut, warga berkumpul dengan membaca tahtim (khataman Qur’an), tahlil, dan doa serta menaburi benih padi dengan tepung tawar. “Bondang merupakan perpaduan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dan kepercayaan tradisional masyarakat terhadap adanya kekuatan gaib dalam aktivitas pertanian,” katanya.
Dalam masyarakat Asahan, ajaran luhur tersebut mengatur hubungan baik antara sesama petani (hablun min annas), petani dengan lingkungan alam tempat mereka bercocok tanam(hablun min al-alam) dan hubungan antara petani dengan Sang Pencipta, Allah SWT (hablun minallah).
Berdasarkan catatan kalangan antropolog, kata Edy, tradisi tersebut sudah menjadi bagian dari adat bercocok tanam masyarakat Asahan sejak 1925 silam. Adalah Syekh Silo atau Haji Abdurrahman Urrahim Bin Nakhoda Alang Batubara, tokoh masyarakat setempat, yang pertama kali memperkenalkan pola bercocok tanam tersebut. Ia tak hanya dikenal sebagai tokoh budaya, tapi juga seorang pemimpin Tarekat Satariyah. Pelaksanaan dan pelestarian tradisi tersebut, Edy mengakui, tak bisa dilepaskan dari sosoknya. “Dialah yang meletakkan dasar sekaligus menganjurkan agar Bondang dilakukan oleh para petani,” kata Edy.
Petani sedang menggiling gabah di Sumatera.
Selain mengatur hal-ihwal pertanian, tradisi yang diajarkan Syekh Silo juga mengatur masalah keamanan dan ketertiban; kegiatan gotong royong; mewariskan tradisi olahraga pencak silat; pelestarian alam dan lingkungan (hutan); masalah pengobatan; dan masalah nelayan. Tradisi yang awalnya hanya diberlakukan bagi jamaah Tarekat Satariyah itu, kemudian menjadi tradisi Silo Lama. Selanjutnya, berkembang menjadi tradisi di masyarakat Asahan dan sekitarnya.
Tradisi Bondang diakui sebagai salah satu solusi dalam mengatasi ketergantungan petani terhadap bahan-bahan kimia pertanian. Penggunaan pupuk, pestisida dan racun serangga lainnya tak hanya berbahaya. Tapi juga potensial merusak ekosistem sawah. Sebab, dapat memutus mata rantai dan daur hidup yang ada di dalam tanah. Bahkan, Edy menyebutkan, “Tradisi Bondang dapat dijadikan simbol perlawanan terhadap globalisasi dunia pertanian, yang sangat mendewakan teknologi dan kapital dalam mengatur sektor pertanian.”
Pemerintah, kata Edy, kini juga mulai gencar melakukan kampanye pertanian organik (go organic). Dengan kenyataan tersebut, dia berharap, keberadaan bertani secara Bondang seharusnya menjadi sumber inspirasi dan referensi bagi pemerintah.
Tradisi bertani dengan mengindahkan keselarasan dengan alam, tak hanya berlaku di Asahan. Hal itu juga terdapat di kawasan lainnya, seperti Batak Toba dengan tradisi Marsiadapari; Karo dengan tradisi Aron. Terdapat kesamaan dari beberapa tradisi tersebut, yaitu melakukan aktivitas pertanian sesuai dengan tradisi yang berkembang di tempat masing-masing. Perbedaannya, tradisi Bondang dilakukan dengan ritual yang memasukkan ajaran Islam.
Kendati Bondang masih bertahan, kini tradisi itu dihadapkan pada sejumlah ancaman. Edy menyebutkan, serbuan pembukaan lahan untuk kelapa sawit mengancam tradisi Bondang. Hal tersebut dirasakan makin krusial saat banyak generasi muda tak berminat menerapkan pertanian model Bondang. “Kini pendukungnya kian mengecil, hanya generasi tua yang masih konsisten menjalankannya.”
Pendapat senada disampaikan Amron. Menurut dia, petani generasi masa kini lebih banyak memilih menggunakan cara bertani modern. Model bertani modern itu menggunakan pupuk, pestisida, dan bahan kimia lainnya. Dukungan pemerintah daerah setempat terhadap bercocok tanam ala Bondang ini pun dirasakan minim. “Sejauh ini belum kelihatan dukungan nyata dari pemerintah terkait dengan aktifitas tradisi Bondang di Silo Lama,” kata Edy.
Berkurangnya praktik bertani dengan tradisi ini, menurut Edy, tak hanya mengancam kerusakan lingkungan dan ekosistem sawah. Juga akan berdampak pada keselarasan sosial masyarakat petani di kawasan tersebut. Sebab, tradisi Bondang merupakan kegiatan menyelaraskan hubungan dengan manusia, alam, dan Tuhan, sebagai pencipta bumi dan segala isinya.
Agar tradisi bercocok tanam ala Bondang tetap lestari, Amron dan Edy memandang perlu adanya pewarisan tradisi kepada warga masyarakat. Pewarisan dilakukan sejak dini kepada generasi yang lebih muda, serta dilakukan dengan dukungan politik. Misalnya, dengan menjadikan tradisi itu sebagai bagian dari kebijakan desa yang diatur di dalam Perdes (Peraturan desa).
Sumber: http://www.prioritasnews.com/2012/12/17/bertahan-di-tengah-pertanian-modern/
Kesimpulannya, masyarakat perkotaan secara tidak langsung membutuhkan adanya masyarakat pedesaan, begitu pula dengan sebaliknya, masyarakat pedesaan juga membutuhkan keberadaan masyarakat perkotaan, meskipun keduanya memiliki perbedaan ciri-ciri dan aspek-aspek yang terdapat di dalam diri mereka. Keduanya memiliki aspek positif dan aspek negatif yang saling mempengaruhi keduanya dan saling berkesinambungan