STUDI
PUSTAKA
Landasan Kependudukan
Penduduk adalah orang atau sekelompok orang yang tinggal di suatu tempat.
Adapun yang dimaksud penduduk Indonesia adalah orang-orang yang menetap di
Indonesia. Berdasarkan publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), hasil
sensus pada tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berjumlah 202,9
juta jiwa. Dilihat dari jumlah penduduk yang demikian banyaknya, Indonesia
menduduki urutan keempat sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk
terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Penduduk merupakan
modal dasar dalam pembangunan, tapi dari sisi lain juga bisa menjadi beban oleh
negara untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk yang besar mempunyai
dampak terhadap proses dan hasil usaha pembangunan. Jumlah penduduk yang besar
tersebut apabila mampu berperan sebagai tenaga kerja yang berkualitas akan
merupakan modal pembangunan yang besar dan akan sangat menguntungkan bagi
usaha-usaha pembangunan di segala bidang.
Perkembangan Penduduk Indonesia
Indonesia
merupakan salah satu negara dengan kekayaan dan keragaman alam serta budaya
yang luar biasa. Tingkat pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk tinggi,
yakni sekitar 1,98% per tahun. Indonesia merupakan negara dengan nomor urut
keempat dalam besarnya jumlah penduduk setelah China, India, dan Amerika
Serikat. Menurut data statistik dari BPS, jumlah penduduk Indonesia saat ini
adalah 225 juta jiwa, dengan angka pertumbuhan bayi sebesar 1,49 % per tahun.
Angka pertumbuhan ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan angka pertumbuhan
bayi pada tahun 1970, yaitu sebesar 2,34%. Dengan jumlah penduduk sebesar 225
juta jiwa, maka pertambahan penduduk setiap tahunnya adalah 3,5 juta jiwa.
Jumlah itu sama dengan jumlah seluruh penduduk di Singapura. Lonjakan penduduk
yang sangat tinggi atau baby booming di Indonesia akan berdampak sangat luas,
termasuk juga dampak bagi ekologi atau lingkungan hidup. Hal itu dapat
mengganggu keseimbangan, bahkan merusak ekosistem yang ada. Dengan laju
pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,98% per tahun, penduduk Indonesia pada
45 – 50 tahun mendatang diperkirakan akan berlipat ganda yakni menjadi 480 juta
jiwa. Pertumbuhan penduduk yang meningkat drastis, tentunya menyisakan penduduk
miskin. Penduduk miskin mempunyai keterbatasan mengakses kebutuhan dasar yang
tentunya berpengaruh pada tubuh yang lemah dan kesehatan secara keseluruhan,
sehingga mereka tidak dapat mencari nafkah dengan baik, tentunya hal ini
membawa konsekuensi pada kemiskinan yang lebih dalam dan panjang dari generasi
ke generasi, biasa disebut lingkaran setan kemiskinan, atau kemiskinan
struktural.
Sebagaimana diketahui perubahan angka pertumbuhan penduduk disebabkan oleh
unsur-unsur berikut, yaitu:
1. Fertilitas
Fertilitas atau kelahiran merupakan salah satu faktor penambah jumlah penduduk
disamping migrasi,jumlah kelahiran setiap tahun di Indonesia masih besar,
jumlah bayi yang lahir setelah tahun 2000 masih tetap banyak jumlahnya
tiap-tiap tahun jumlah kelahiran bayi di Indonesia mencapai sekitar 4,5 juta
bayi
2. Mortalitas
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu dari 3 faktor demogarafis selain
fertilitas dan migrasi, yang dapat mempengaruhi jumlah dan komposisi umur
penduduk, factor social ekonomi seperti pengetahuan tentang kesehatan, gizi dan
kesehatan lingkungan, serta kemiskinan merupakan factor individu dan keluarga
mempengaruhi mortalitas dalam masyarakat.
3. Migrasi
Migrasi merupakan gerak perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain
dengan tujuan untuk menetap di daerah tujuan, migrasi sering diartikan sebagai
perpindahan yang relative permanen dari suatu daerah ke daerah lainnya
(orangnya disebut imigran).
Pertumbuhan penduduk, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah, dan
sempitnya kesempatan kerja merupakan akar permasalahan kemiskinan. Jadi aspek
perkembangan penduduk mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan yang
dihadapi di Indonesia pada saat ini. Daerah miskin sering ditinggalkan
penduduknya untuk bermigrasi ke tempat lain dengan alasan mencari kerja. Banyak
ide dan teori yang sudah dipaparkan cendekiawan-cendekiawan terdahulu mengenai
hubungan antara pertumbuhan penduduk dan kemiskinan. Salah satunya adalah
Malthus. Malthus meyakini jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan maka
suatu saat nanti sumber daya alam akan habis sehingga muncul wabah penyakit,
kelaparan, dan berbagai macam penderitaan manusia.
Philip Hauser menganggap kemiskinan tercipta dari tidak optimalnya tenaga kerja
dalam bekerja dikarenakan adanya ketidakcocokan antara pendidikan dan pekerjaan
yang ditekuni. Hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah penduduk yang masuk ke
pasar kerja sehingga memaksa pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan
secepat-cepatnya walaupun tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya
akibat ketatnya persaingan dalam mencari kerja. Kedua pemaparan ahli tersebut
bermuara ke satu arah yakni jumlah penduduk yang besar sebagai penyebab
timbulnya kemiskinan, Tinggi rendahnya jumlah penduduk dipengaruhi oleh proses
demografi yakni; kelahiran, kematian, dan migrasi. Tingkat kelahiran yang
tinggi tentu akan meningkatkan tingkat pertumbuhan penduduk. Namun demikian,
tingkat kelahiran yang tinggi di Indonesia kebanyakan berasal dari kategori
penduduk golongan miskin. Sampai-sampai ada idiom yang menyebutkan bahwa
''tidak ada yang bertambah dari keluarga miskin kecuali anak''.
Selain meningkatkan beban tanggungan keluarga, anak yang tinggal di keluarga
miskin sangat terancam kondisi kesehatannya akibat buruknya kondisi lingkungan
tempat tinggal dan ketidakmampuan keluarga untuk mengakses sarana kesehatan
jika anak mengalami sakit. Hal yang sama juga dialami ibu hamil dari keluarga
miskin. Buruknya gizi yang diperoleh semasa kehamilan memperbesar resiko bayi
yang dilahirkan tidak lahir normal maupun ancaman kematian ibu saat persalinan.
Maka dari itu infant mortality rate (tingkat kematian bayi) dan maternal
mortality rate (tingkat kematian ibu) di golongan keluarga miskin cukup besar.
Tingkat kematian merupakan indikator baik atau buruknya layanan kesehatan di
suatu negara. Tingkat kematian penduduk di negara berkembang, termasuk
Indonesia, masih didominasi golongan penduduk miskin.
Masalah migrasi juga memicu pertambahan penduduk secara regional. Kepadatan
penduduk Indonesia antara pulau yang satu dan pulau yang lain tidak seimbang.
Selain itu, kepadatan penduduk antara provinsi yang satu dengan provinsi yang
lain juga tidak seimbang. Hal ini disebabkan karena persebaran penduduk tidak merata.
Salah satu contohnya adalah kasus Pulau Jawa. Pulau Jawa luasnya hanya 7
persen dari total luas wilayah nasional namun penduduk yang berdiam di Jawa
adalah 60 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Kesenjangan antar pulau
ini menyebabkan munculnya kemiskinan baik di pulau-pulau luar yang tidak
berkembang maupun di Pulau Jawa sebagai akibat ketidakmampuan mayoritas
penduduk mendatang maupun lokal yang kalah bersaing dalam mendapatkan
penghidupan yang layak.
Pertumbuhan penduduk yang signifikan akan berdampak pada perubahan sosial
kehidupan masyarakat Indonesia. Akibat ledakan penduduk menimbulkan berbagai
masalah antara lain sebagai berikut.
a. Jumlah
penduduk sangat banyak, yaitu nomor empat di dunia setelah Cina, India, dan
Amerika Serikat.
b. Pertumbuhan
penduduk yang cepat menyebabkan tingginya angka pengangguran.
c. Persebaran
penduduk tidak merata. Penduduk Indonesia tahun 2004 sejumlah 206.246.595 jiwa,
64% di antaranya tinggal di Pulau Jawa.
d. Komposisi
penduduk kurang menguntungkan karena banyaknya penduduk usia muda yang belum
produktif sehingga beban ketergantungan tinggi.
e. Arus
urbanisasi tinggi, sebab kota lebih banyak menyediakan lapangan kerja.
f. Menurunnya
kualitas dan tingkat kesejahteraan penduduk. Demikian pula permasalahan lingkungan
hidup sangat luas, misalnya merosotnya kuantitas dan kualitas sumber alam,
tercemarnya lingkungan fisik, dan timbulnya dampak negatif pembangunan terhadap
lingkungan sosial.
Menurut Kuswanto dan Bintarto beberapa usaha untuk mengatasi permasalahan
akibat ledakan penduduk antara lain sebagai berikut.
a. Perencanaan,
pengaturan, dan pembatasan kelahiran (dengan KB) untuk menekan jumlah penduduk.
b. Menyelenggarakan
pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup yang baik melalui sekolah,
kursus-kursus, dan perkumpulan lainnya untuk menampung tenaga kerja.
c. Meratakan
persebaran penduduk dengan mengadakan transmigrasi dan melaksanakan pembangunan
desa untuk membendung arus urbanisasi dan terkonsentrasinya penduduk di suatu
daerah.
d. Memperluas
kesempatan kerja, meningkatkan fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi,
komunikasi, dan perumahan.
e. Perluasan
industrialisasi, baik ringan maupun berat.
f.
Perencanaan penggunaan tanah untuk pertanian,
pembangunan, dan permukiman dengan tetap memperhatikan kelestariannya supaya
tidak merugikan kehidupan manusia di sekitarnya.
g. Pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersahabat dengan lingkungan untuk
meningkatkan mutu kehidupan manusia.
Pertambahan Penduduk dan Lingkungan
Pemukiman
Tingkat pertumbuhan penduduk yang
tidak terkendali telah mengakibatkan munculnya kawasan-kawasan permukiman kumuh
dan liar. Untuk mencapai upaya penanganan yang berkelanjutan tersebut,
diperlukan penajaman tentang kriteria permukiman kumuh dan squatter dengan memperhatikan
kondisi sosial ekonomi masyarakat serta lingkungannya. Rumah atau pemukiman
pada hakekatnya merupakan kebutuhan dasar manusia selain sandang dan pangan,
juga pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu maka dalam upaya penyediaan
perumahan lengkap dengan sarana dan prasarana permukimannya, semestinya tidak
sekedar untuk mencapai target secara kuantitatif, semata-mata, melainkan harus
dibarengi pula dengan pencapaian sasaran secara kualitatif, karena berkaitan
langsung dengan harkat dan martabat manusia selaku pemakai. Artinya bahwa
pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang layak, akan dapat
meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Penataan ruang pemukiman tidak lagi semata menjembatani kepentingan ekonomi dan
sosial. Lebih jauh dari kedua hal itu (ekonomi dan sosial), penataan ruang
telah berubah orientasinya pada aspek yang benar-benar berpihak untuk
kepentingan lingkungan hidup, sebagai konsekuensi keikut-sertaan Indonesia pada
upaya menekan pemanasan global. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, telah ditegaskan mengenai tujuan penyelenggaraan penataan ruang yaitu
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan, serta menciptakan keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, serta perlindungan fungsi
ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang.
Penataan ruang yang berpihak pada lingkungan hidup perlu ditegakkan bersama
karena sebelumnya, logika penataan ruang yang hanya mengikuti selera pasar,
dalam kenyataan telah mengancam keberlanjutan. Hal ini dapat dicermati dari
keberadaan lahan-lahan produktif dan kawasan buffer zone berada dalam ancaman
akibat konversi lahan secara besar-besaran untuk kepentingan penyediaan lahan
yang mempunyai land rent tinggi seperti peruntukan lahan untuk permukiman,
industri, perdagangan serta pusat-pusat perbelanjaan. Diperkirakan sekitar 15
ribu – 20 ribu ha per tahun lahan pertanian beririgasi beralih fungsi menjadi
lahan non pertanian, serta tidak sedikit kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS)
terdegradasi. Berdasarkan data (Bappenas, 2002) terdapat sekitar 62 Daerah
Aliran Sungai (dari 470 Daerah Aliran Sungai) akibat dari penebangan hutan yang
tidak terkendali dari hulu sungai. Tekanan lingkungan lainnya adalah menyangkut
laju urbanisasi yang akan tumbuh sekitar 4,4 persen per tahun. Oleh karena itu
diperkirakan, pada tahun 2025 nanti terdapat sekitar 60 persen penduduk
Indonesia (167 juta orang) berada di perkotaan. Bila penataan ruang tidak
mengikuti logika pembangunan keberlanjutan, maka dapat dipastikan bahwa
kota-kota besar yang telah berkembang saat ini akan selalu berada tekanan
social yang sangat tinggi. Dilihat dari perspektif ekologis bahwa pertumbuhan
penduduk yang cepat dapat berdampak kepada meningkatnya kepadatan penduduk,
sehingga menyebabkan ketidakseimbangan mutu lingkungan secara menyeluruh.
Menurut Soemarwoto (1991:230-250) bahwa secara rinci dampak kepadatan penduduk
sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cepat terhadap kelestarian
lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Meningkatnya limbah rumah tangga sering disebut
dengan limbah domestik. Dengan naiknya kepadatan penduduk berarti jumlah orang
persatuan luas bertambah. Karena itu jumlah produksi limbah persatuan luas juga
bertambah. Dapat juga dikatakan di daerah dengan kepadatan penduduk yang
tinggi, terjadi konsentrasi produksi limbah.
2. Pertumbuhan penduduk yang terjadi bersamaan dengan
pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang melahirkan industri dan sistem transport
modern. Industri dan transport menghasilkan berturut-turut limbah industri dan
limbah transport. Di daerah industri juga terdapat kepadatan penduduk yang
tinggi dan transport yang ramai. Di daerah ini terdapat produksi limbah
domsetik, limbah industri dan limbah transport.
3. Akibat pertambahan penduduk juga mengakibatkan
peningkatan kebutuhan pangan. Kenaikan kebutuhan pangan dapat dipenuhi dengan
intensifikasi lahan pertanian, antara lain dengan mengunakan pupuk pestisida,
yang notebene merupakan sumber pencemaran. Untuk masyarakat pedesaan yang
menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, maka seiring dengan pertambahan
penduduk, kebutuhan akan lahan pertanian juga akan meningkat. Sehingga
ekploitasi hutan untuk membuka lahan pertanian baru banyak dilakukan. Akibatnya
daya dukung lingkungan menjadi menurun. Bagi mereka para peladang berpindah,
dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat, berarti
menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan juga meningkat. Akibatnya proses
pemulihan lahan mengalami percepatan. Yang tadinya memakan waktu 25 tahun,
tetapi dengan semakin meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan maka bisa
berkurang menjadi 5 tahun. Saat dimana lahan yang baru ditinggalkan belum pulih
kesuburannya.
4. Makin besar jumlah penduduk, makin besar kebutuhan
akan sumber daya. Untuk penduduk agraris, meningkatnya kebutuhan sumber daya
ini terutama lahan dan air. Dengan berkembangnya teknologi dan ekonomi,
kebutuhan akan sumber daya lain juga meningkat, yaitu bahan bakar dan bahan
mentah untuk industri. Dengan makin meningkatnya kebutuhan sumber daya itu,
terjadilah penyusutan sumber daya. Penyusutan sumber daya berkaitan erat dengan
pencemaran. Makin besar pencemaran sumber daya, laju penyusunan makin besar dan
pada umumnya makin besar pula pencemaran.
Tingkat laju pertumbuhan Indonesia dalam beberapa tahun ke depan bukan mustahil
akan menyalip Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 227
juta jiwa, sedangkan penduduk AS berjumlah 315 juta jiwa. Dari hasil survei,
pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun bertambah 3,2 juta jiwa. Secara
kuantitas jumlah ini sama dengan jumlah seluruh penduduk Singapura. Kepala
BKKBN Sugiri Syarief menunjukkan bahwa program KB ternyata mengalami stagnasi
dengan angka rata-rata seorang wanita mempunyai anak selama masa subur secara
nasional pada 2007 tetap berada di angka 2,6 dibanding 2003. Jumlah penduduk
Indonesia saat ini menduduki nomor empat terbanyak di dunia setelah China
dengan 1,3 miliar jiwa, India dengan 1,2 miliar, dan AS nomor ketiga dengan 315
juta. (Republika, 2 Juni 2009)
Ujung dari semua ledakan penduduk itu adalah kerusakan lingkungan dengan segala
dampka ikutannya seperti menurunnya kualitas pemukiman dan lahan yang
ditelantarkan, serta hilangnya fungsi ruang terbuka. Dampak lonjakan populasi
bagi lingkungan sebenarnya tidak sederhana. Persoalannya rumit mengingat
persoalan terkait dengan manusia dan lingkungan hidup.
Pertumbuhan Penduduk dan Tingkat
Pendidikan
Suatu wilayah dengan pertambahan
penduduk yang pesat dapat menyebabkan masalah- masalah pendidikan,
pengangguran, kesenjangan sosial dan masalah-masalah lainnya. Dengan jumlah
penduduk yang besar maka fasilitas-fasilitas sosial, pendidikan dan pekerjaan
juga ikut meningkat. Jika penduduk di suatu kota yang padat tidak terpenuhi
fasilitas pendidikannya maka akan menyebabkan penurunan tingkat pendidikan
wilayah tersebut. Tingkat pendidikan yang rendah dapat menyebabkan pengangguran
sehingga dampak pada tingkat perekonomian juga memburuk. Jika masalah ini terus
diabaikan maka kemerosotan negara tidak dapat dihindari. Tingkat pendidikan
yang buruk dapat menyebabkan anak-anak mengalami depresi. Hal ini memicu
terjadinya pekerjaan-pekerjaan yang tidak layak dilakukan oleh anak-anak di
bawah umur. Bahkan dampak lain dari masalah ini bisa menyebabkan tingkat
tindakan kriminal yang dilakukan anak-anak meningkat.
Generasi muda dan anak-anak yang cerdas adalah kunci kemajuan suatu negara.
Jika masa kanak-kanak mereka diisi dengan hal-hal negatif maka jalan menuju
kesuksesan bangsa akan semakin jauh. Penduduk merupakan pelaku pembangunan.
Maka kualitas penduduk yang tinggi akan lebih menunjang laju pembangunan
ekonomi. Usaha yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kualitas penduduk
melalui fasilitas pendidikan, perluasan lapangan pekerjaan dan penundaan usia
kawin pertama. Di negara-negara yang anggaran pendidikannya rendah, biasanya
menunjukkan angka kelahiran yang tinggi. Tidak hanya persediaan dana yang
kurang, tetapi komposisi usia secara piramida pada penduduk yang berkembang
dengan cepat juga berakibat bahwa rasio antara guru yang terlatih dan jumlah
anak usia sekolah akan terus berkurang.
Negara Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga untuk
melaksanakan pembangunan dalam segala bidang belum dapat berjalan dengan cepat,
karena kekurangan modal maupun tenaga tenaga ahli/ terdidik, Akibatnya
fasilitas secara kualitatif dalam bidang pendidikan masih terbatas. Pertambahan
penduduk yang cepat, lepas daripada pengaruhnya terhadap kualitas dan kuantitas
pendidikan, cenderung untuk menghambat perimbangan pendidikan. Kekurangan
fasilitas pendidikan menghambat program persamaan atau perimbangan antara
pedesaan dan kota, dan antara bagian masyarakat yang kaya dan miskin. Oleh
karena itu, masyarakat dalam mencapai pendidikan yang tinggi masih sedikit
sekali. Hal ini disebabkan karena :
a.
Tingkat kesadaran masyarakat untuk bersekolah rendah.
b.
Besarnya anak usia sekolah yang tidak seimbang dengan
penyediaan sarana pendidikan.
c.
Pendapatan perkapita penduduk di Indonesia rendah
sehingga belum dapat memenuhi Kebutuhan hidup primer, dan untuk biaya sekolah.
Dampak yang ditimbulkan dari rendahnya tingkat
pendidikan terhadap pembangunan adalah:
1.
Rendahnya penguasaan teknologi maju, sehingga harus
mendatangkan tenaga ahli dari negara maju. Keadaan ini sungguh ironis, di mana
keadaan jumlah penduduk Indonesia besar, tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan
tenaga ahli yang sangat diperlukan dalam pembangunan.
2.
Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan sulitnya
masyarakat menerima hal-hal yang baru. Hal ini nampak dengan ketidak mampuan
masyarakat merawat hasil pembangunan secara benar, sehingga banyak fasilitas
umum yang rusak karena ketidakmampuan masyarakat memperlakukan secara tepat.
Kenyataan seperti ini apabila terus dibiarkan akan menghambat jalannya
pembangunan.
Pengaruh daripada dinamika
penduduk terhadap pendidikan juga dirasakan pada keluarga. Penelitian yang
dilakukan pada beberapa negara dengan latar belakang budaya yang berlainan
menunjukkan bahwa jika digabungkan dengan kemiskinan, keluarga dengan jumlah
anak banyak dan jarak kehamilan yang dekat, menghambat perkembangan berfikir
anak-anak, berbicara dan kemauannya, di samping kesehatan dan perkembangan
fisiknya. Kesulitan orang tua dalam membiayai anak-anak yang banyak, lebih
mempersulit masalah ini. Helen Callaway, seorang ahli antropologi Amerika yang
mempelajari masyarakat buta huruf, menyimpulkan bahwa perkembangan ekonomi dan
perluasan pendidikan dasar telah memperluas jurang pemisah antara pria dan
wanita. Hampir di mana – mana pria diberikan prioritas untuk pendidikan umum dan
latihan – latihan teknis. Mereka adalah orang – orang yang mampu menghadapi
tantangan – tantangan dalam dunia. Sebaliknya pengetahuan dunia di tekan secara
tajam pada tingkat yang terbawah.
Pengaruh daripada dinamika penduduk terhadap pendidikan juga dirasakan pada
keluarga. Penelitian yang dilakukan pada beberapa negara dengan latar belakang
budaya yang berlainan menunjukkan bahwa jika digabungkan dengan kemiskinan,
keluarga dengan jumlah anak banyak dan jarak kehamilan yang dekat, menghambat
perkembangan berfikir anak – anak, berbicara dan kemauannya, di samping
kesehatan dan perkembangan fisiknya. Kesulitan orang tua dalam membiayai anak –
anak yang banyak, lebih mempersulit masalah ini padahal tingkat pendidikan
sangat siperlukan sebagai alat menyampaikan informasi kepada manusia tentang
perlunya perubahan dan untuk merangsang penerimaan gagasan – gagasan baru.
Pertumbuhan Penduduk dan Penyakit yang Berkaitan
dengan Lingkungan Hidup
Kemampuan manusia untuk mengubah atau memoditifikasi
kualitas lingkungannya tergantung sekali pada taraf sosial budayanya.
Masyarakat yang masih primitif hanya mampu membuka hutan secukupnya untuk
memberi perlindungan pada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat yang sudah maju
sosial budayanya dapat mengubah lingkungan hidup sampai taraf yang
irreversible. Perilaku masyarakat ini menentukan gaya hidup tersendiri yang
akan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan yang diinginkannya mengakibatkan
timbulnya penyakit juga sesuai dengan prilakunya tadi. Dengan demikian eratlah
hubungan antara kesehatan dengan sumber daya social ekonomi. WHO menyatakan
“Kesehatan adalah suatu keadaan sehat yang utuh secara fisik, mental dan sosial
serta bukan hanya merupakan bebas dari penyakit”.Dalam Undang Undang No. 9
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. Dalam Bab 1,Pasal 2 dinyatakan bahwa
“Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan (somatik),rohani (jiwa) dan sosial
dan bukan hanya deadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan”.
Definisi ini memberi arti yang sangat luas pada kata kesehatan.
Keadaan kesehatan lingkungan di Indonesia masih merupakan hal yang perlu
mendapaat perhatian, karena menyebabkan status kesehatan masyarakat berubah
seperti: Peledakan penduduk, penyediaan air bersih, pengolalaan sampah,pembuangan
air limbah penggunaan pestisida, masalah gizi, masalah pemukiman, pelayanan
kesehatan, ketersediaan obat, populasi udara, abrasi pantai,penggundulan hutan
dan banyak lagi permasalahan yang dapat menimbulkan satu model penyakit. Jumlah
penduduk yang sangat besar 19.000 juta harus benar-benar ditangani
masalah.pemukiman sangat penting diperhatikan. Pada saat ini pembangunan di
sektor perumahan sangat berkembang, karena kebutuhan yang utama bagi
masyarakat. Perumahan juga harus memenuhi syarat bagi kesehatan baik ditinjau
dari segi bangungan, drainase, pengadaan air bersih, pentagonal sampah domestik
uang dapat menimbulkan penyakit infeksi dan ventilasi untuk pembangunan asap
dapur.
Indonesia saat ini mengalami transisi dapat terlihat dari perombakan struktur
ekonomi menuju ekonomi industri, pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi yang
meningkatkan jumlahnya, maka berubahlah beberapa indikator kesehatan seperti
penurunan angka kematian ibu, meningkatnya angka harapan hidup ( 63 tahun ) dan
status gizi. Jumlah penduduk terus bertambah, cara bercocok tanam tradisional
tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Pertumbuhan Penduduk yang
tidak merata tersebut sangat berpengaruh dengan lingkungan, penduduk yang
tinggal dipemukiman yang sembarangan akan mengakibatkan lingkungan yang tidak
bersih. Lingkungan yang tidak dijaga akan mengakibatkan penyakit yang dapat
mengacam kesehatan manusia, misalnya penyakit yang diakibatkan oleh lingkungan
adalah Malaria, Muntaber, Penyakit Kulit, Tifus, dll. Seperti banjir, polusi
air, dan polusi udara adalah faktor yang mengakibatkan terjadinya penyakit,
jika lama kelamaan manusia tidak memperhatikan lingkunganya maka sangat besar
peluang penyakit menyebar, dalam hal ini kesadaran manusia sangat dibutuhkan,
kita diharapkan perlu adanya sosialisasi kepada penduduk tentang pemukiman yang
sehat dan adanya jaminan kesehatan bagi masyarakat luas dari pemerintah dan
pemerintah haruslah meningkatkan pendidikan kesehatan bagi masyarakat, dan yang
paling penting diperhatikan pemeintah adalah pelayanan kesehatan masyarakat
yaitu dengan menciptakan klinik disetiap pemukiman penduduk.
Pertumbuhan Penduduk dan Kelaparan
Kekurangan gizi dan angka kematian anak meningkat di sejumlah kawasan yang
paling buruk di Asia dan Pasifik kendati ada usaha internasional untuk
menurunkan keadaan itu, kata sebuah laporan badan kesehatan PBB hari Senin.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa sasaran kesehatan yang
ditetapkan berdasarkan delapan Tujuan Pembangunan Milenium PBB tahun 2000 tidak
akan tercapai pada tahun 2015 berdasarkan kecnderungan sekarang. “Sejauh ini
bukti menunjukkan bahwa kendati ada beberapa kemajuan, di banyak negara,
khususnya yang paling miskin, tetap ketinggalan dalam kesehatan,” kata Dirjen
WHO Lee Jong Wook dalam laporan itu. Kendati tujuan pertama mengurangi
kelaparan, situasinya bahkan memburuk sementara negara-negara miskin berjuang
mengatatasi masalah pasokan pangan yang kronis, kata data laporan itu.
Antara tahun 1990 dan 2002– data yang paling akhir– jumlah orang yang
kekurangan makanan meningkat 34 juta di indonesia dan 15 juta di Surabaya dan
47 juta orang di Asia timur, kata laporan tersebut. Proporsi anak berusia lima
tahun ke bawah yang berat badannya terlalu ringan di Surabaya, tenggara dan
timur meningkat enam sampai sembilan persen antara tahun 1990 dan 2003,
sementara hampir tidak berubah (32 persen). Lebih dari separuh anak-anak di
Asia selatan kekurangan gizi, sementara rata-rata di negara-negara berkembang
tahun 2003 tetap sepertiga. “Meningkatnya pertambahan penduduk dan
produktivitas pertanian yang rendah merupakan alasan utama kekurangan pangan di
kawasan-kawasan ini,” kata laporan itu. Kelaparan cenderung terpusat di
daerah-daerah pedesaan di kalangan penduduk yang tidak memilki tanah atau para
petani yang memiliki kapling yang sempit untuk memenunhi kebutuhan hidup
mereka,” tambah dia.
Tidak ada satupun negara-negara miskin dapat memenuhi tantangan mengurangi
tingkat kematian anak. Kematian bayi meningkat tajam di Surabaya antara tahun
1999 dan 2003, yang menurut data terakhir yang diperoleh, dari 90 sampai 126
anak per 1.000 kelahiran hidup. Juga terjadi peningkatan tajam dari 38 menjadi
87 per 1.000 kelahiran hidup. “Untuk sebagian besar negara kemajuan dalam
mengurangi kematian anak juga akan berjalan lambat karena usaha-usaha
mengurangi kekurangan gizi dan mengatasi diare, radang paru-paru, penyakit yang
dapat dicegah dengan vaksin dan malaria tidak memadai,” kata laporan itu.
Berdasarkan kecenderungan sekarang, WHO memperkirakan pengurangan dalam angka
kematian dikalangan anak berusia dibawah lima tahun antara tahun 1990 dan 2015
akan menjadi sekitar seperempat, kurang dari dua pertiga dari yang diusahakan.
Tingkat kematian ibu diperkirakan akan menurun hanya di negara-negara yang
telah memiliki tingkat kematian paling rendah sementara sejumlah negara yang
mengalami angka terburuk bahkan sebaliknya. Tingginya laju pertumbuhan penduduk
dan angka kelahiran di Indonesia, diperparah dengan pola penyebaran penduduk
yang tidak merata. “Jika semua itu, tidak segera dikendalikan, maka hal itu
akan jadi beban buat kita semua. Karena itu, baik pria maupun wanita harus
memaksimalkan program KB. Untuk mengurangi jumlah penduduk lapar tersebut, maka
menurut Diouf diperlukan peningkatan produksi dua kali lipat dari sekarang pada
tahun 2050. Peningkatan produksi ini khususnya perlu terjadi di negara
berkembang, di mana terdapat mayoritas penduduk miskin dan lapar. Jumlah
penduduk dunia yang mengalami kelaparan meningkat sekitar 50 juta jiwa selama
tahun 2007 akibat dari kenaikan harga pangan dan krisis energi.
Kemiskinan dan Keterbelakangan
Salah satu wabah penyakit yang melanda negara-negara yang sedang berkembang
ialah kemiskinan beserta saudara kembarnya, yaitu keterbelakangan. Kemiskinan
dan keterbelakangan adalah suatu penyakit, karena dalam kenyataannya dua hal
itu melemahkan fisik dan mental manusia yang tentunya juga berdampak negative
terhadap lingkungan. Kemiskinan dan keterbelakangan begitu erat kaitannya satu
sama lain sehingga dapat dianggap sebagai satu pengertian, maka digunakan satu
istilah saja, yaitu kemiskinan di mana sudah terkait pengertian
keterbelakangan.
Dampak kemiskinan terhadap orang-orang miskin sendiri dan terhadap lingkungannya, baik lingkungan social maupun lingkungan alam, dengan sendirinya sudah
jelas negative. Orang miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi minimal bagi
dirinya sendiri maupun bagi keluarganya. Dampak kemiskinan terhadap lingkungan
social tampakmengalirnya penduduk ke kota-kota tanpa bekal pengetahuan apalagi
bekal materi. Akibatnya antara lain ialah banyaknya tukang becak, pemungut
punting, gelandangan, pengemis, dan sebagainnya yang menghuni kampung-kampung
liar dan jorok di gubuk-gubuk reot yang tidak pantas didiami manusia.
Sebab-sebab kemiskinan yang pokok bersumber dari empat hal, yaitu mentalitas si
miskin itu sendiri, minimnya ketrampilan yang dimilikinya, ketidakmampuannya
untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang disediakan, dan peningkatan
jumlah penduduk yang relatif berlebihan.
Kemiskinan dan keterbelakangan merupakan masalah global. Sebagian orang
memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya
dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll. Kemiskinan dipahami dalam berbagai
cara. Pemahaman utamanya mencakup:
a.
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup
kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
Kemiskinan dalam arti ini dipsdfgeggahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
b.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk
keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan
sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
c.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan
yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi
bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Kartasasmita (1997: 234) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam
pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang
kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah
dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga
tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih
tinggi(Kartasasmita, 1997: 234). Hal tersebut senada dengan yang dikatakan
Friedmann yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat dari ketidak-samaan
kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial (Friedmann , 1992: 123).
Namun menurut Brendley (dalam Ala, 1981: 4) kemiskinan adalah ketidaksanggupan
untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat oleh Salim yang
mengatakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan
untuk memperoleh kebutuhan hidup yang pokok(Salim dalam Ala, 1981: 1).
Sedangkan Lavitan mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang
dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.
OPINI
Kemiskinan
merupakan suatu masalah yang dapat dikatakan kompleks karena banyak factor yang
mempengaruhi dan menyebabkannya hal tersebut terjadi. Factor tersebut dapat
dapat dari factor internal yaitu dari diri seseorang itu sendiri atau dari
factor eksternal yaitu lingkungan, pendidikan, keluarga, masyarakat dll. Beberapa
faktor penyebab kemiskinan lainnya adalah pertumbuhan ekonomi lokal dan global
yang rendah, pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan stabilitas politik yang
tidak kondusif. Kemiskinan jelas
memberikan dampak negative bagi masyarakat, lingkungan, dan orang-orang yang
berada dalam kemiskinan.
Masalah
kemiskinan tersebut sulit untuk dihilangkan dari kehidupan manusia, sehingga
memerlukan suatu upaya penanggulangan secara keseluruhan dan berkelanjutan.
Banyak sudut pandang orang tentang kemiskinan, mulai dari ketidakmampuan
seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup, kemiskinan dalam hal pendidikan,
moral dan tingkah laku sesorang. Hal ini lah yang menyebabkan kemiskinan erat
kaitannya dengan keterbelakangan
seseorang. Tanpa disadari, masalah kemiskinan sangatlah mempengaruhi
perekonomian suatu Negara. Sehingga membuat kondisi ekonomi dan social yang
semakin parah dan memprihatinkan.
Selain itu, kemiskinan tidak bisa
dilepaskan dari kebodohan dimana sangat erat hubungannya dengan kemiskinan dan
keterbelakangan dalam ekonomi dan kemakmuran. Meski kenyataannya ada anak-anak
keluarga miskin yang memiliki kemampuan akademik yang baik tetapi
keterbelakangan untuk meraih kesempatan dalam berbagai bidang kehidupan juga
yang menimbulkan diskriminasi lantaran status sosial dan ekonomi yang rendah.
Untuk memerangi kemiskinan tentu harus bekerja keras. Memerangi kebodohan tentu
harus giat belajar, namun kenyataannya pendidikan kian sulit terjangkau
kebanyakan rakyat disebabkan oleh biaya yang semakin mahal seiring
berkembangnya zaman. Sulitnya juga orang-orang untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak untuk menunjang kehidupan.
Disinilah pemerintah sangat diharapkan
yaitu memainkan perannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam suatu
negara, peran pemerintah sangat menentukan, baik dalam membuat masyarakat
menjadi miskin, maupun keluar dari kemiskinan. Negara yang maju adalah
Negara yang lebih mementingkan kepentingan masyarakatnya untuk menjadikan
masyarakat lebih sejahtera dan makmur sehingga kemiskinan yang ada dapat
diminimalisir, bahkan lebihnya dapat dihilangkan.