Masyarakat secara garis besar dapat dibedakan menjadi masyarakat
perkotaan dan masyarakat pedesaan. Masyarakat perkotaan adalah sekumpulan orang
yang tinggal di suatu tempat yang kehidupannya sudah serba modern. Sedangkan
jelas kalau masyarakat pedesaan itu kehidupannya serba sederhana dan jauh dari
serba modern.
Contoh Studi Kasus Antara Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan
contohnya dalam pola kehidupannya, sebagian besar masyarakat desa bermata pencaharian di bidang
agraris, baik pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. Pada umumnya
setiap anggota hanya mampu melaksanakan salah satu bidang kehidupan saja lain halnya masyarakat kota yang bekerja
diperkotaan cenderung bekerja diperkantoran dengan bidang yang bermacam-macam. Tetapi,
masyarakat perkotaan juga tidak lepas dari masyarakat pedesaan misalnya untuk
bahan pangan seperti beras berasal dari hasil pertanian.
Bertahan di Tengah Pertanian Modern
Tradisi Bondang
mengajarkan bercocok tan am tanpa memakai bahan kimia. Hasil padi lebih
berkualitas dan melimpah.
Petani sedang memanen padi, di Desa Silo Lama, Asahan, Sumatera Utara.
Keyakinan itu tertanam kuat dalam benak Amron
Lubis. Dia berpegang teguh bahwa bercocok tanam adalah sebuah ibadah yang wajib
dilakukan manusia. Hingga kini, warga Dusun Silo Lama, Kecamatan Air Joman,
Kabupaten Asahan, Sumatera Utara tersebut, masih aktif bertani. “Dengan
bercocok tanam, kita tak hanya melestarikan tradisi luhur warisan nenek moyang,
tapi juga menjalankan perintah agama,” ujar bapak tiga anak ini kepada Prioritas,
Selasa pekan lalu.
Amron dan masyarakat Dusun Silo Lama, masih
memegang teguh warisan leluhurnya, Silo Bondang. Bondang merupakan tradisi khas
bertani padi masyarakat Asahan. Tradisi ini mengajarkan cara bertani yang tak
menggunakan bahan-bahan kimia modern, seperti pupuk dan pestisida.
Dusun Silo, menurut Amron, menjadi satu dari
sedikit dusun yang hingga kini masih melestarikan tradisi Bondang. Dengan
menjalankan tradisi itu, padi yang dihasilkan tak hanya berkualitas, tapi juga
melimpah. Ini membuat Silo menjadi salah satu lumbung beras penting di Sumatera
Utara. “Beras yang dihasilkan juga berkah,” ujar Amron.
Penelitian yang dilakukan Edy Suhartono,
antropolog Universitas Sumatera Utara, mencatat sejumlah ritual yang dilakukan
saat musim tanam (buka Bondang) dan panen (tutup Bondang). Upacara dimulai
dengan menyembelih ayam atau kambing di tempat tertentu. Berikutnya, ditempat
tersebut, warga berkumpul dengan membaca tahtim (khataman Qur’an), tahlil, dan
doa serta menaburi benih padi dengan tepung tawar. “Bondang merupakan perpaduan
nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dan kepercayaan tradisional masyarakat
terhadap adanya kekuatan gaib dalam aktivitas pertanian,” katanya.
Dalam masyarakat Asahan, ajaran luhur tersebut
mengatur hubungan baik antara sesama petani (hablun min annas), petani
dengan lingkungan alam tempat mereka bercocok tanam(hablun min al-alam)
dan hubungan antara petani dengan Sang Pencipta, Allah SWT (hablun minallah).
Berdasarkan catatan kalangan antropolog, kata
Edy, tradisi tersebut sudah menjadi bagian dari adat bercocok tanam masyarakat
Asahan sejak 1925 silam. Adalah Syekh Silo atau Haji Abdurrahman Urrahim Bin
Nakhoda Alang Batubara, tokoh masyarakat setempat, yang pertama kali
memperkenalkan pola bercocok tanam tersebut. Ia tak hanya dikenal sebagai tokoh
budaya, tapi juga seorang pemimpin Tarekat Satariyah. Pelaksanaan dan
pelestarian tradisi tersebut, Edy mengakui, tak bisa dilepaskan dari sosoknya.
“Dialah yang meletakkan dasar sekaligus menganjurkan agar Bondang dilakukan
oleh para petani,” kata Edy.
Petani sedang menggiling gabah di Sumatera.
Selain mengatur hal-ihwal pertanian, tradisi
yang diajarkan Syekh Silo juga mengatur masalah keamanan dan ketertiban;
kegiatan gotong royong; mewariskan tradisi olahraga pencak silat; pelestarian
alam dan lingkungan (hutan); masalah pengobatan; dan masalah nelayan. Tradisi
yang awalnya hanya diberlakukan bagi jamaah Tarekat Satariyah itu, kemudian
menjadi tradisi Silo Lama. Selanjutnya, berkembang menjadi tradisi di
masyarakat Asahan dan sekitarnya.
Tradisi Bondang diakui sebagai salah satu solusi
dalam mengatasi ketergantungan petani terhadap bahan-bahan kimia pertanian. Penggunaan
pupuk, pestisida dan racun serangga lainnya tak hanya berbahaya. Tapi juga
potensial merusak ekosistem sawah. Sebab, dapat memutus mata rantai dan daur
hidup yang ada di dalam tanah. Bahkan, Edy menyebutkan, “Tradisi Bondang dapat
dijadikan simbol perlawanan terhadap globalisasi dunia pertanian, yang sangat
mendewakan teknologi dan kapital dalam mengatur sektor pertanian.”
Pemerintah, kata Edy, kini juga mulai gencar
melakukan kampanye pertanian organik (go organic). Dengan kenyataan
tersebut, dia berharap, keberadaan bertani secara Bondang seharusnya menjadi
sumber inspirasi dan referensi bagi pemerintah.
Tradisi bertani dengan mengindahkan keselarasan
dengan alam, tak hanya berlaku di Asahan. Hal itu juga terdapat di kawasan
lainnya, seperti Batak Toba dengan tradisi Marsiadapari; Karo dengan tradisi
Aron. Terdapat kesamaan dari beberapa tradisi tersebut, yaitu melakukan
aktivitas pertanian sesuai dengan tradisi yang berkembang di tempat
masing-masing. Perbedaannya, tradisi Bondang dilakukan dengan ritual yang
memasukkan ajaran Islam.
Kendati Bondang masih bertahan, kini tradisi itu
dihadapkan pada sejumlah ancaman. Edy menyebutkan, serbuan pembukaan lahan
untuk kelapa sawit mengancam tradisi Bondang. Hal tersebut dirasakan makin
krusial saat banyak generasi muda tak berminat menerapkan pertanian model
Bondang. “Kini pendukungnya kian mengecil, hanya generasi tua yang masih
konsisten menjalankannya.”
Pendapat senada disampaikan Amron. Menurut dia,
petani generasi masa kini lebih banyak memilih menggunakan cara bertani modern.
Model bertani modern itu menggunakan pupuk, pestisida, dan bahan kimia lainnya.
Dukungan pemerintah daerah setempat terhadap bercocok tanam ala Bondang ini pun
dirasakan minim. “Sejauh ini belum kelihatan dukungan nyata dari pemerintah
terkait dengan aktifitas tradisi Bondang di Silo Lama,” kata Edy.
Berkurangnya praktik bertani dengan tradisi ini,
menurut Edy, tak hanya mengancam kerusakan lingkungan dan ekosistem sawah. Juga
akan berdampak pada keselarasan sosial masyarakat petani di kawasan tersebut.
Sebab, tradisi Bondang merupakan kegiatan menyelaraskan hubungan dengan
manusia, alam, dan Tuhan, sebagai pencipta bumi dan segala isinya.
Agar tradisi bercocok tanam ala Bondang tetap
lestari, Amron dan Edy memandang perlu adanya pewarisan tradisi kepada warga
masyarakat. Pewarisan dilakukan sejak dini kepada generasi yang lebih muda,
serta dilakukan dengan dukungan politik. Misalnya, dengan menjadikan tradisi
itu sebagai bagian dari kebijakan desa yang diatur di dalam Perdes (Peraturan
desa).
Sumber: http://www.prioritasnews.com/2012/12/17/bertahan-di-tengah-pertanian-modern/
Kesimpulannya, masyarakat perkotaan secara tidak
langsung membutuhkan adanya masyarakat pedesaan, begitu pula dengan sebaliknya,
masyarakat pedesaan juga membutuhkan keberadaan masyarakat perkotaan, meskipun
keduanya memiliki perbedaan ciri-ciri dan aspek-aspek yang terdapat di dalam
diri mereka. Keduanya memiliki aspek positif dan aspek negatif yang saling
mempengaruhi keduanya dan saling berkesinambungan